Friday, June 08, 2007

JG

Di suatu malam yang sepi di pulau Dewata, aku menatap nanar menembus pandangan sahabatku... malam ini lain dengan malam-malam sebelumnya...

Malam ini begitu dingin begitu sunyi, bahkan di kejauhan pun tak terdengar debur ombak. "Tidak akan ada apa-apa kan Jaz?", kau bertanya sambil memaksakan senyum. Aku hanya menggeleng sambil tetap terdiam. Memang kadang, berada di Bali membuat kita merasa sedikit was-was jika suasana terlalu senyap ataupun terlalu ramai. Kehidupan di Bali sangat berubah total semenjak kejadian bom pertama meledak, dan ditambah bom kedua membuat segala sesuatu seperti hancur berantakan...

Mungkin hancur berantakan seperti hatiku malam ini.

Belum genap dua bulan semenjak aku dan tunanganku pergi ke Bali.
Masih terasa hangat genggaman tangan kokohnya sepanjang kami berjalan di pinggir pantai. Masih terbayang binar matanya menatapku ketika kami makan malam di Jimbaran. Masih terngiang tawa lepasnya disaat aku menginjak kakinya pada waktu kami berdansa dibawah sinar bintang...

Semua masih terasa seperti kemarin.

Dan sekarang aku berada di Bali, sebenarnya sendirian... tapi sahabatku memaksa menemani dengan dalih ingin berlatih yoga. Aku sudah tak mampu lagi menolak dan akhirnya meyakinkan hati bahwa dia benar-benar ingin berlatih, dan bukannya hanya alasan untuk menemani aku yang sedang luruh lantak ini.

Sayup samar aku seperti mendengar suaranya...
"Thanks for this surprise holiday, baby," he smiled and gently kissed my hand.
"I love being here," he continued. "I've never thought I could be able to come to Bali...
my previous job hadn't even left me a single holiday for my own. But I'm glad I'm here with you, my dear".

Sekarang aku merasa pipiku memerah hanya dengan mengingat apa yang dia katakan padaku waktu itu.

Waktu ketika dia berujar:

"Will you marry me?", he kneeled down and handed me a beautiful ring, without a box. I was stunned. And in the midst of answering the question and mumbling of that "naked" ring, I was crying...

Being a man with "extra" sense, he completely knew what I had in mind. "Don't worry, it's a Tiffany... I didn't carry the box, in case you're suspicious of what I carried in my pocket. I left it in the room, you can take it later.", he smiled and got up.

Ketika aku bercerita seperti ini kepadamu sahabatku, kau tertawa terbahak-bahak sambil menghembuskan asap rokokmu dan berkata, "Matre loe". Aku hanya tersenyum karena tidak sanggup tertawa... Cincin itu adalah cincin yang paling indah yang pernah aku lihat. Aku bahkan tidak peduli apa itu dari Tiffany & Co. atau hanya sekedar cincin besi yang dibuat dengan tangan. Tapi buat apa cincin besi atau Tiffany, kalau kau tidak ada bersamaku sekarang ini...

Sekarang aku bersama sahabatku. Yang dengan setia mendengarkan tangis dan tawaku... yang kerap kali berdalih akan mendengarkan ceritaku sambil mempratekkan gerakan-gerakan yoga yang ajaib itu... yang dengan sabar selalu berkata:

"Sabar dan pasrah Jaz, berdoa... mungkin ini ujian... Tuhan tahu siapa yang paling baik buat kita."



This post has no ending, since I'm working on finishing the story and choosing the right ending for it.

Thanks for inspiring this, Li... just everytime you go to Bali, I always have something to write for. Maybe you have to live in Bali anyway.